Di sebuah desa kecil di pesisir Kupang, Nusa Tenggara Timur, hidup seorang anak laki-laki bernama Yanuarius, atau yang akrab disapa Yan. Ia dikenal pendiam, rajin, dan selalu membawa buku ke mana pun ia pergi—bahkan ketika sedang membantu ibunya mencuci pakaian di sungai.
Hari ini, Yan berdiri dengan toga hitam dan selempang merah bertuliskan “Harvard University, Class of 2025”. Ia adalah satu-satunya anak dari keluarganya yang menginjakkan kaki di luar negeri. mg 4d Bukan untuk jadi TKI, tapi untuk belajar di salah satu universitas paling bergengsi di dunia.
Mengharukan: Lahir dari Keluarga yang Tak Pernah Punya Meja Makan
Yan lahir dari keluarga sangat sederhana. Ayahnya adalah buruh bangunan lepas yang penghasilannya hanya cukup untuk makan sehari-hari. Ibunya bekerja sebagai pencuci pakaian tetangga. Mereka tinggal di rumah berdinding papan yang lantainya masih tanah. Tidak ada meja makan, tidak ada televisi, tidak ada listrik sampai Yan berusia 10 tahun.
Namun satu hal yang tidak pernah absen dalam rumah mereka adalah doa. Setiap malam, ayahnya selalu berkata, “Yan, kamu harus sekolah tinggi. Jangan jadi seperti bapak.”
Yan kecil mendengar kalimat itu ratusan kali. Dan setiap kali ia mendengar, semangatnya tumbuh. Ia belajar di bawah pelita, mencatat di buku yang ia beli dari hasil menjual botol bekas. Saat anak-anak lain bermain layangan, ia sibuk menyalin pelajaran dari papan tulis ke buku miliknya yang hampir habis halamannya.
Sepatunya bolong, seragamnya penuh tambalan. Tapi semangatnya tidak pernah robek.
Menggugah: Dari Ranking Satu Desa ke Olimpiade Sains Nasional
Yan adalah murid paling cerdas di sekolah dasar dan menengah pertama di desanya. Tapi yang membuatnya istimewa bukan hanya nilai sempurna, melainkan rasa ingin tahunya yang luar biasa. Ia suka bertanya, membaca apa saja yang ditemukannya, bahkan buku bekas yang sudah robek dan berjamur.
Guru-gurunya melihat potensi besar dalam diri Yan. Salah satu guru bernama Bu Maria memberinya buku fisika tingkat SMA ketika ia masih kelas 2 SMP. Hanya dalam seminggu, buku itu selesai dibaca. Dalam ujian nasional, Yan mendapat nilai sempurna di matematika dan fisika.
Atas dorongan gurunya, ia mengikuti Olimpiade Sains Nasional tingkat provinsi. Meski datang tanpa sepatu layak, hanya dengan sandal jepit, Yan berhasil menjadi juara pertama dan lanjut ke tingkat nasional. Di Jakarta, ia pertama kali melihat gedung bertingkat, naik pesawat, dan tidur di hotel.
Namun bukan itu yang membuatnya terkesan. Ia justru menangis ketika menginjakkan kaki di perpustakaan nasional.
“Bayangkan, saya melihat ribuan buku. Saya ingin membaca semuanya,” katanya sambil tertawa.
Menginspirasi: Surat Tangan yang Mengantar ke Harvard
Setelah lulus SMA dengan nilai tertinggi di provinsinya, Yan mendapat tawaran beasiswa dari beberapa universitas dalam negeri. Tapi ia memiliki mimpi yang lebih tinggi: kuliah di luar negeri. Ia mencari tahu tentang beasiswa luar negeri lewat warnet desa, menulis lamaran sendiri, dan belajar TOEFL dari video YouTube.
Ia menulis surat motivasi ke Harvard dengan tangan, karena tidak punya komputer atau printer. Surat itu dikirim via pos, disertai foto dirinya memakai seragam sekolah dengan latar belakang sawah dan kambing.
Tak ada yang menyangka, surat tangan itu menyentuh hati pihak kampus. Tiga bulan kemudian, ia mendapat email: “Congratulations, Yanuarius. You are accepted with a full scholarship.”
Satu desa bersorak. Tetangganya menangis. Wartawan lokal datang. Tapi Yan tetap tenang, hanya memeluk ibunya dan berkata, “Bu, mimpi kita ternyata bisa terbang juga.”
Menghebohkan: Pemuda dari Kupang yang Bicara di Forum Dunia
Di Harvard, Yan menyesuaikan diri dengan keras. Bahasa Inggrisnya patah-patah, ia tidak terbiasa dengan cuaca dingin, dan kerap merasa minder. Tapi semangat belajarnya tetap menyala. Ia membaca lebih banyak, bertanya lebih dalam, dan bekerja lebih keras dari siapa pun.
Tahun kedua, ia membuat riset tentang pendidikan di wilayah 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal) dan presentasinya menarik perhatian dosen. Ia diundang ke konferensi pendidikan internasional di Swiss untuk membicarakan akses pendidikan bagi anak-anak desa terpencil.
Di forum itu, ia berdiri tegak dengan aksen Indonesia Timur yang khas dan berkata:
“Saya berdiri di sini bukan karena saya pintar. Saya berdiri karena ada orang tua yang rela tidak makan agar anaknya bisa sekolah. Karena ada guru yang percaya pada potensi murid meskipun murid itu hanya punya satu pensil untuk satu semester.”
Pidatonya mendapat standing ovation. Beberapa profesor menitikkan air mata. Di hari yang sama, ia menerima tawaran untuk melanjutkan ke program master, lagi-lagi dengan beasiswa penuh.
Warisan yang Tak Ternilai: Membangun Perpustakaan di Kampung Halaman
Kini Yan sudah menyelesaikan kuliahnya dan memilih kembali ke Kupang. Bukan untuk menikmati ketenaran, tapi untuk membangun impiannya: sebuah perpustakaan desa. Ia mengumpulkan donasi dari teman-temannya di luar negeri, mengirim ratusan buku, dan menyulap rumah tua orang tuanya menjadi tempat baca.
Setiap sore, puluhan anak duduk di lantai tanah, membaca bersama. Yan mengajar mereka mengenal dunia lewat buku, sama seperti dulu ia mengenal dunia lewat buku bekas yang disobek-sobek.
“Kalau saya bisa sampai Harvard dari desa ini, maka mereka juga bisa,” katanya sambil tersenyum.
Ibunya kini tak lagi mencuci pakaian orang. Ia duduk di teras rumah, melihat anak-anak tertawa sambil membaca, dan sesekali menitikkan air mata bahagia.
“Saya tidak tahu Harvard itu seperti apa,” ucapnya pelan. “Tapi saya tahu anak saya sekarang bisa membuat banyak anak lain punya mimpi.”
Penutup
Kisah Yanuarius bukan hanya tentang pendidikan tinggi. Ini adalah tentang semangat, tentang mimpi yang tak terikat keadaan, tentang bukti bahwa kemiskinan tak pernah mampu membunuh tekad.
Dari rumah tanpa meja makan, ia membuktikan bahwa cinta orang tua, kerja keras, dan satu sepatu bolong bisa menjadi tiket menuju masa depan yang terang.
Apakah kamu ingin kisah MG4D lainnya tentang anak difabel, veteran tua, atau guru pelosok yang mengubah desa?
Leave a Reply